21 Februari 2025
Tahukah Anda bahwa perempuan berisiko mengalami depresi setelah masa nifas? Depresi Pascapersalinan (PPD) dapat menyebabkan komplikasi bagi ibu baru, termasuk kecemasan, kesedihan yang berlebihan, dan kesulitan menjalin ikatan dengan anak-anak mereka. Ada berbagai alasan di balik kejadian ini, dan perubahan hormonal merupakan salah satu faktor yang paling signifikan. PPD dapat menyulitkan ibu baru untuk merawat diri sendiri dan bayinya. Oleh karena itu, penting untuk memahami peran hormon dalam memungkinkan penanganan yang tepat.
Kami berbicara dengan Dr Manjula Anagani, Penerima Penghargaan Padmashree, Direktur Klinis, Ginekolog Robotik dan HOD, Care Vatsalya, Women and Child Institute, Rumah Sakit CARE, Banjara Hills, Hyderabad, yang berbagi wawasan tentang hal yang sama.
Hampir empat perlima ibu baru merasa sedih atau kewalahan setelah melahirkan, yang sering disebut 'baby blues'. Namun, sekitar satu dari lima ibu baru mengalami kondisi yang lebih serius yang disebut depresi pascapersalinan. Menurut sebuah studi tahun 2016, faktor risiko penting untuk depresi pascapersalinan meliputi riwayat episode depresi, pengalaman sebelumnya dengan depresi pascapersalinan, dan mengalami depresi selama kehamilan.
Kehamilan menyebabkan perubahan hormonal, mempersiapkan tubuh untuk melahirkan dan menjadi ibu. "Selama masa ini, kadar estrogen dan progesteron dalam tubuh meningkat sepuluh kali lipat untuk mendukung pertumbuhan bayi dan menjaga kesehatan kehamilan. Namun, setelah melahirkan, kadar hormon ini tiba-tiba turun, menyebabkan perubahan dramatis dalam kimia otak yang dapat memengaruhi suasana hati dan emosi seorang wanita," jelas Dr. Anagani.
Seperti yang kita ketahui, fluktuasi hormon memengaruhi setiap wanita secara berbeda, dan pendekatan pengobatan tunggal tidak cocok untuk semua orang. "Sebaliknya, strategi pengobatan personal yang mempertimbangkan profil hormon, riwayat medis, dan kondisi psikologis wanita saat ini lebih efektif dalam membantu mengatasi depresi pascapersalinan," tambah Dr. Anagani.
Dalam beberapa kasus, terapi estrogen membantu meringankan gejala PPD dengan menyeimbangkan kadar hormon. Namun, perawatan ini memerlukan pemantauan ketat oleh para ahli medis.
Selain itu, pemeriksaan fungsi tiroid dapat membantu mendeteksi tiroiditis pascapersalinan dan segera menangani masalah apa pun dengan terapi penggantian hormon tiroid yang tepat saat terdeteksi.
Terapi perilaku kognitif dan terapi interpersonal dapat secara signifikan membantu perempuan dalam memproses dan mengatasi depresi pascapersalinan. "Kelompok dukungan dan sesi konseling juga menyediakan ruang yang aman dan penuh kasih sayang bagi para ibu untuk berbagi pengalaman, terhubung dengan orang lain, serta menerima dukungan dan pengertian," ujar Dr. Anagani.
Pada kasus yang parah, antidepresan dapat diresepkan untuk mengatasi gejala PPD yang melemahkan. Inhibitor reuptake serotonin selektif umumnya diresepkan dan dianggap aman untuk digunakan selama menyusui jika digunakan dengan penanganan medis yang tepat.
Ibu baru dapat memperoleh manfaat dari keterlibatan keluarga dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga. Penyedia layanan kesehatan harus secara konsisten menekankan pentingnya hubungan sosial dan mendorong pasien untuk mencari bantuan bila diperlukan.
Dr. Anagani menyimpulkan, "Stigma seputar kesehatan mental ibu merupakan salah satu tantangan terbesar dalam menangani PPD. Banyak perempuan ragu mencari bantuan karena takut dihakimi atau dicap sebagai ibu yang tidak mampu, sehingga semakin mengisolasi diri dalam perjuangan mereka. Mendidik ibu baru dan meningkatkan kesadaran publik sangat penting untuk menormalkan diskusi terbuka tentang gejala PPD dan mendorong mereka untuk memprioritaskan perawatan diri tanpa merasa bersalah atau malu."
Tautan Referensi
https://www.onlymyhealth.com/role-of-hormones-in-postpartum-depression-and-importance-of-personalised-treatment-12977825993